Luwu Utara – Tak semua orang lahir di jalur cepat menuju sukses. Sebagian harus melintasi jalan sempit, berlumpur, dan penuh jurang—seperti yang dilalui Noldi Jumaedi (23), pemuda dari Desa Marante, Kecamatan Seko. Tapi dari jalanan ekstrem itulah, ia mengantarkan mimpinya sendiri sampai ke panggung wisuda.
Noldi adalah anak keempat dari lima bersaudara. Ayahnya meninggal dunia pada tahun 2014 saat ia masih berusia remaja. Hanya sebulan setelahnya, ibunya yang seorang guru PNS jatuh sakit dan mengalami depresi. Sejak itu, sang ibu hanya terbaring di kamar, tidak pernah keluar rumah, hingga akhirnya harus dipensiunkan dini.
“Tumbuh tanpa bimbingan orang tua membuat saya sering merasa dunia ini tidak adil, Tapi saya belajar berdamai dengan kenyataan.” ungkapnya, Minggu (11/5/2025).
Tahun 2018, Noldi menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Teologi Kristen (SMTK) di Jakarta. Tiga tahun hidup di asrama mengajarkannya arti kemandirian dan kerja keras. Namun usai lulus, pandemi COVID-19 memaksanya pulang kampung dan menggugurkan harapan kembali melanjutkan studi di Jakarta.
Tak menyerah pada keadaan, ia mendaftar di Universitas Cokroaminoto Palopo, mengambil jurusan PGSD atas saran keluarga, untuk meneruskan cita-cita sang ibu. Tapi biaya menjadi tantangan besar. Ia tak tega membebani kakaknya atau mengandalkan gaji pensiun sang ibu, karena mereka juga harus merawat ibunya yang sakit.
Lalu ia mengambil keputusan besar: menjadi ojek Seko–Sabbang–Palopo dan sebaliknya, sebuah jalur ekstrem yang menantang nyawa.
“Sekali jalan bisa delapan sampai sepuluh jam. Kalau lengah sedikit, bisa jatuh ke jurang. Tapi ini yang saya pilih agar tetap bisa kuliah.” ujarnya.
Jadwal kuliah ia susun ketat: Senin hingga Kamis untuk belajar, Sabtu dan Minggu ia gunakan untuk mengantar penumpang atau barang—bensin, sembako, hasil bumi—melewati jalanan terjal menuju Seko. Tak jarang ia berangkat dari Seko tengah malam, tiba di Palopo pagi, lalu langsung ke kampus.
Setiap kali mangojek, sekali antar bisa mendapat Rp500 ribu hingga Rp1,5 juta, tergantung muatan. Tapi perjuangannya bukan hanya soal uang—lebih dari itu, ini tentang membuktikan bahwa keterbatasan bukan penghalang untuk sukses.
“Banyak yang bilang, tukang ojek mana mungkin bisa kuliah, apalagi lulus. Tapi saya tahu, saya punya tujuan,” tambahnya.
Cibiran ia lawan dengan tekad. Noldi tak ingin menyerah, terlebih karena pesan sang kakak, Harianto, terus terpatri:
“Kalau kamu tidak bisa sarjana, orang akan mudah meremehkan kita. Laki-laki itu harus bisa berdiri di atas kaki sendiri.”
Dan hari itu pun datang, pada 8 Mei 2025, Noldi resmi menyandang gelar sarjana (S1). Sebuah penantian panjang yang dibayar lunas oleh perjuangan tanpa lelah.
“Hidup ini tidak ada yang mudah. Tapi cobaan hanya cara Tuhan menguji kita. Di balik semua rasa pahit, Tuhan sedang menyiapkan sesuatu yang indah. Jangan hanya syukuri yang manis. Rasa sakit juga harus disyukuri—karena itu yang membentuk kita.” pesannya.
Ke depan, Noldi berharap bisa melanjutkan Pendidikan Profesi Guru (PPG) jika ada rejeki. Namun ia tetap akan setia menjadi tukang ojek bagi siapa pun yang membutuhkan perjalanan ke Seko.